Yurisprudensi Waris Adat Batak, Tionghoa, Bali, NTT
Yurisprudensi Nomor 3/Yur/Pdt/2018
Kaidah Hukum:
"Atas dasar
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, perempuan mempunyai hak atas
warisan orang tuanya atau suaminya sehingga mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan gugatan untuk memperoleh warisan dan mendapatkan
warisan dengan bagian (porsi) yang sama dengan laki-laki."
Pengantar
Hukum Adat
(Customary Law) di sebagian besar suku bangsa di Indonesia menganut paham patriarki
dengan mengutamakan laki-laki dan anak laki-laki sebagai pemimpin keluarga yang
mempunyai peran publik dan akan meneruskan keturunan serta kepemimpinan keluarga
sehingga hanya laki-laki dan anak laki-laki yang dapat memperoleh warisan,
sementara perempuan dan anak perempuan dipandang hanya dapat berperan di ranah
domestik (rumah tangga), karenanya tidak memperoleh warisan atau memperoleh
warisan dengan porsi setengah dari laki-laki atau bagian yang lebih kecil lagi.
Pendapat
Mahkamah Agung
Melalui Putusan
Nomor 179 K/SIP/1961 tanggal 23 Oktober 1961 dalam perkara Langtewas, dkk melawan
Benih Ginting terkait dengan sengketa kewarisan dalam adat Karo yang sangat kuat
menganut paham patrilineal (garis keturunan ayah), Mahkamah Agung menyatakan
bahwa:
Mahkamah Agung
atas rasa peri kemanusiaan dan keadilan umum serta atas hakikat persamaan hak
antara wanita dan pria menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia,
jadi juga di Tanah Karo bahwa seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli
waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan orang tuanya.
Pertimbangan
hukum yang senada dijumpai pula dalam putusan Mahkamah Agung dalam perkara
sengketa kewarisan dalam hukum adat Batak Mandailing yang juga menganut paham
patrilinialisme. Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 415 K/SIP/1970 tanggal 16
Juni 1971 dalam perkara Usman, dkk melawan Marah Iman Nasution, dkk menyatakan
bahwa:
Hukum Adat di
daerah Tapanuli kini telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada
anak perempuan dan laki-laki;
Dalam perkara
lain menyangkut kewarisan yang berlaku pada hukum adat yang secara tegas juga
menganut paham patrilineal, yaitu Bali, dalam Putusan Nomor 4766 K/Pdt/1998
tanggal 16 November 1999, Mahkamah Agung kembali menggariskan kaidah hukum
bahwa:
Perempuan di
Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris walaupun sistem pewarisan di
Bali sendiri menganut system pewarisan mayorat laki-laki.
Putusan
Mahkamah Agung terkait hak yang sama antara laki-laki dan perempuan di atas
kemudian secara konsisten diterapkan dalam berbagai putusan Mahkamah Agung
berikutnya, yaitu Putusan Nomor 1048K/Pdt/2012 tanggal 26 September 2012.
Perkara ini terkait pembagian waris adat Rote Ndao Nusa Tenggara Timur. Putusan
ini kemudian dimasukan ke dalam salah satu putusan penting (landmark decision)
Mahkamah Agung di Laporan Tahunan Tahun 2012. Dalam pertimbangannya Mahkamah
Agung menyatakan:
Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut di atas, dapat dibenarkan, Judex Facti/Pengadilan Tinggi Kupang yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Rote Ndao salah dalam menerapkan hukum karena pertimbangan Pengadilan Tinggi Kupang tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku, yaitu Pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 179 K/Sip/1961 tanggal 11 November 1961 yang menyatakan bahwa hak waris perempuan disamakan dengan laki- laki. Artinya, hukum adat yang tidak sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat, seperti hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan kedudukan laki-laki, tidak dapat lagi dipertahankan.
Penyetaraan hak
waris perempuan kembali diputuskan Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 147 K/Pdt/2017
tanggal 18 April 2017. Dalam perkara ini Mahkamah Agung memutus perkara waris
terkait adat Tionghoa. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan:
Bahwa dalam rangka kesetaraan gender, hak wanita dan pria adalah sama dalam hukum, maka adil dan patut harta benda sipeninggal waris harus dibagi sama oleh ahli waris tanpa membedakan pria dan wanita terlebih lagi hukum adat Tionghoa yang tidak tertulis dan harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Bahwa adalah
tidak adil memposisikan anak laki-laki tertua sebagai satu-satunya penerima
warisan orang tuanya terhadap harta benda tetap, sementara anak perempuan hanya
mendapat perhiasan;
Sikap serupa
kembali diputus Mahkamah Agung pada tanggal 19 Juni 2017 yaitu dalam putusan No.
573 K/Pdt/2017 terkait pembagian waris dalam adat Batak dan putusan No. 1130
K/Pdt/2017 tanggal 10 Juli2017 terkait pembagian waris dalam adat Manggarai
Nusa Tenggara Timur.
Pandangan hukum yang berpihak pada kesetaraan dan keadilan gender sebagaimana termuat di dalam berbagai putusan di atas kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung melalui fungsi pengaturan atau legislasi dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum pada tanggal 4 Agustus 2017.
Yurisprudensi
Dengan telah konsistennya sikap Mahkamah Agung sejak tahun 1961 terkait hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam kewarisan, maka sikap hukum ini telah menjadi yurisprudensi di Mahkamah Agung.
Kata Kunci: Adat patrilinieal; hak waris
perempuan; kesetaraan gender.
Sumber Putusan: 179 K/Sip/1961.
Putusan Yang Mengikuti: Putusan Nomor 415 K/Sip/1970, Putusan Nomor 573 K/Pdt/2017, Putusan Nomor 147 K/Pdt/2017, Putusan Nomor 1048 K/Pdt/2012, Putusan Nomor 1130 K/Pdt/2017, Putusan Nomor 4766 K/Pdt/1998.
Peraturan Terkait: UU No. 23 (Stbld) Tahun 1847, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, Perma No. 3 Tahun 2017.
Sumber: Website Mahkamah Agung