Ikhtisar Putusan MK Nomor 67 PUU XI 2013 tentang Peringkat Hak Pembayaran Upah Dalam Pailit

Pemohon:

Ir. Otto Geo Diwara Purba, Ir. Syamsul Bahri Hasibuan, S.H., M.H., Eiman, Robby Prijatmodjo, Macky Ricky Avianto, Yuli Santoso, Joni Nazarudin, Piere J Wauran, Maison Des Arnoldi;

 

Jenis Perkara:

Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

 

Pokok Perkara:

Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

 

Bertentangan Dengan:

- Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;

- Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;

 

Amar Putusan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

1.1. Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”;

1.2. Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hakhak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”;

2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

 

Tanggal Putusan:

Kamis, 11 September 2014

 

Ikhtisar Putusan:

Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;


Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UUD 1945. Karena permohonan a quo adalah mengenai pengujian UU 13/2003 terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan dimaksud. Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya menyatakan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu: (i) perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (iii) badan hukum publik atau privat; atau (iv) lembaga negara. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Mahkamah menilai Para Pemohon memenuhi syarat sebagai subjek hukum dalam pengujian UU 13/2003. Para Pemohon adalah perseorang warga negara Indonesia yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Undang-Undang a quo;

 

Pemohon mendalilkan mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yang antara lain tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD dan 28D ayat (2) UUD. Menurut para Pemohon, berlakunya Pasal a quo UU 13/2003 merugikan hak konstitusional Pemohon. Kewenangan konstitusional tersebut adalah posisi pekerja/buruh dalam posisi yang lemah dan tidak sejajar dengan para kreditor separatis yang dalam praktik lebih didahulukan pembayarannya jika suatu perusahaan dipailitkan sebagaimana dijamin di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD dan 28D ayat (2) UUD 1945;

 

Pemohon memohon agar Mahkamah memberikan putusan: (i) Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil (judicial review) Pemohon; (ii) Menyatakan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah konstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sejauh kata “didahulukan pembayarannya” ditafsirkan pelunasan mendahului semua jenis kreditor baik kreditor separatis/istimewa, kreditor preference, pemegang hak tanggungan, gadai dan hipotik dan kreditor bersaing (concurrent); (iii) Menyatakan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah konstitusional dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 sejauh kata “didahulukan pembayarannya” ditafsirkan pelunasan mendahului semua jenis kreditor baik kreditornseparatis/istimewa, kreditor preference, pemegang hak tanggungan, gadai dan hipotik dan kreditor bersaing (concurent); (iv) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya; (v) Apabila Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya menurut hukum (ex aequo et bono);

 

Bahwa pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon tersebut memiliki kesamaan substansi dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008, tanggal 23 Oktober 2008. Oleh karena itu, Mahkamah perlu mengutip beberapa pertimbangan dalam putusan tersebut, pada pokoknya sebagai berikut:

 

- Bahwa pernyataan pailit oleh hakim adalah merupakan satu peletakan sita umum (algemene beslag) terhadap seluruh harta kekayaan seorang debitor. Tujuannya adalah supaya dapat membayar semua tagihan kreditor secara adil, merata, dan seimbang. Pembayaran tagihan kreditor dilakukan berdasarkan asas paru passu pro rata parte, karena memang kedudukan kreditor pada dasarnya adalah sama, akan tetapi dalam proses pelaksanaannya diatur berdasarkan peringkat atau prioritas piutang yang harus dibayar terlebih dahulu yang diatur dalam Undang-Undang terkait dengan jaminan terhadap pinjaman yang diberikan kreditor terhadap seorang debitor. Kreditor yang demikian sejak awal diperjanjikan untuk diselesaikan tagihannya lebih dahulu dan secara terpisah (separate) dengan hak untuk melakukan eksekusi terhadap harta yang dijaminkan. Demikian kreditor yang dijamin dengan hipotek, gadai, fidusia, dan hak tanggungan lainnya. Dalam urutan berikutnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan, adalah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kemudian upah buruh. Padahal, penjelasan pasal tersebut menyatakan, “Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya”;

 

- Bahwa pada bagian lain dari putusan tersebut Mahkamah juga mempertimbangkan, tidak dapat disangkal bahwa kedudukan pekerja/buruh dalam perusahaan merupakan salah satu unsur yang sangat vital dan mendasar yang menggerakkan proses usaha. Unsur lain yang memungkinkan usaha bergerak adalah modal, yang juga merupakan unsur yang esensial. Masing-masing unsur tersebut diikat dengan perjanjian, yang karena isinya menjadikan unsur-unsur tersebut tidak memiliki kedudukan yang sama dilihat dari ukuran kepastian, jaminan, dan masa depan jika timbul risiko yang berada diluar kehendak semua pihak. Pengakuan tetap harusmempertimbangkan kedudukan yang berbeda dan risiko dalam kehidupan ekonomi berbeda yang tidak selalu dapat diperhitungkan. Oleh karena itu, dalam membuat kebijakan hukum, hak-hak pekerja/buruh tidak boleh termarginalisasi dalam kepailitan, namun tidak boleh mengganggu kepentingan kreditor (separatis) yang telah diatur dalam ketentuan hukum jaminan baik berupa gadai, hipotek, fidusia, maupun hak tanggungan lainnya. Bahwa, memandang perjanjian antara Perusahaan dengan kreditor dengan objek property dan buruh/pekerja dengan perusahaan dengan objek tenaga/keterampilan (jasa), Mahkamah memandang, buruh/pekerja mempunyai posisi ekonomi yang lebih lemah. Sehingga kedua aspek ini dipandang memiliki perbedaan yang mendasar. Pertanyaannya adalah, manakah yang harus didahulukan?

 

Bahwa dalam aspek risiko, bagi pengusaha risiko merupakan bagian dari hal yang wajar dalam pengelolaan usahanya, selain keuntungan dan/atau kerugian. Oleh karena itu, resiko merupakan hal yang menjadi ruang lingkup pertimbangannya ketika melakukan usaha, bukan ruang lingkup pertimbangan pekerja/buruh. Sementara itu, bagi pekerja/buruh upah merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya, sehingga menjadi tidak tepat manakala upah pekerja/ buruh tersebut menduduki peringkat yang lebih rendah dengan argumentasi yang dikaitkan dengan risiko yang bukan ruang lingkup pertimbangannya. Adalah tidak adil mempertanggungkan sesuatu terhadap sesuatu yang ia tidak turut serta dalam usaha. Selain itu, hidup dan mempertahankan kehidupan, berdasarkan Pasal 28A UUD 1945 adalah hak konstitusional dan berdasarkan Pasal 28I ayat (1) adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, yang oleh karenanya berdasarkan ayat (4) dan ayat (5) pasal tersebut, negara dalam hal ini Pemerintah, harus melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhinya dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis;

 

Menimbang bahwa mengenai hak-hak pekerja/buruh yang lain, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak sama atau berbeda dengan upah pekerja/buruh. Upah pekerja/buruh secara konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 merupakan hak konstitusional yang oleh karenanya adalah hak konstitusional pula untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Adapun hak-hak lainnya tidaklah demikian, sehingga implikasi hukumnya adalah wajar bila terkait dengan pembayaran dimaksud hak tersebut berada pada peringkat di bawah kreditor separatis. Sementara itu, mengenai kewajiban terhadap negara hal tersebut adalah wajar manakala berada pada peringkat setelah upah pekerja/buruh. argumentasinya adalah, selain berdasarkan uraian di atas, karena fakta yang sesungguhnya negara memiliki sumber pembiayaan lain, sedangkan bagi pekerja/buruh upah adalah satu-satunya sumber untuk mempertahankan hidup bagi diri dan keluarganya.

 

Panitera Pengganti,

ttd.

Hani Adhani


Sumber: mkri.id


TOPIK POPULER

Contoh Kesimpulan Penggugat di PHI

Contoh Surat Permohonan Perundingan Bipartit Pertama (I) oleh Pekerja

Contoh Surat Kuasa Bipartit dan sekaligus Mediasi Memakai Pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Contoh 2 Kontra Memori Kasasi di PHI

Replik | Contoh di Pengadilan Hubungan Industrial

Pasal 156 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Jo. UU 6/2023 (Cipta Kerja)

Jawaban | Contoh di Pengadilan Hubungan Industrial

UMP Lampung 2024 (Pdf) dan UMK 15 Kabupaten/Kota di Lampung

Tata Cara Melakukan Perundingan Bipartit Hubungan Industrial