Permenakertrans Nomor 31 Tahun 2008 tentang Pedoman Perundingan Bipartit
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Per.31/Men/XII/2008
tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Perundingan Bipartit, disingkat Permenakertrans 31/2008 mengatur antara lain:
Pasal 3 ayat (1)
“Dalam melakukan perundingan bipartit, para pihak wajib:
a. memiliki itikad baik;
b. bersikap santun dan tidak anarkis; dan
c. menaati tata tertib perundingan yang disepakati.”
Pasal 4
(1) Perundingan bipartit dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. tahap sebelum perundingan dilakukan persiapan:
1) pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya
secara tertulis kepada pihak lainnya;
2) apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh
perseorangan yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat
memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan
tersebut untuk mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan;
3) pihak pengusaha atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi
mandat harus menangani penyelesaian perselisihan secara langsung;
4) dalam perundingan bipartit, serikat pekerja/serikat buruh atau
pengusaha dapat meminta pendampingan kepada perangkat organisasinya
masing-masing;
5) dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan anggota
serikat pekerja/serikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang
pekerja/buruh, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati
paling banyak 5 (lima) orang dari pekerja/buruh yang merasa dirugikan;
6) dalam hal perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk
wakilnya paling banyak 10 (sepuluh) orang.
b. tahap perundingan:
1) kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi
permasalahan;
2) kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara
tertulis dan jadwal perundingan yang disepakati;
3) dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama
perundingan dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya
sebagaimana mestinya;
4) para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang
disepakati;
5) dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan,
maka para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pekerja/buruh bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja;
6) setelah mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit
tetap dapat dilanjutkan sepanjang disepakati oleh para pihak;
7) setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani
oleh para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani,
maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud;
8) hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang
sekurang-kurangnya memuat:
1. nama lengkap dan alamat para pihak;
2. tanggal dan tempat perundingan;
3. pokok masalah atau objek yang diperselisihkan;
4. pendapat para pihak;
5. kesimpulan atau hasil perundingan;
6. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
9) rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani
oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak
bersedia menandatanganinya;
c. tahap setelah selesai perundingan:
1) dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Pengadilan
Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan
Perjanjian Bersama;
2) apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.