Mediasi Hubungan Industrial Akan Semakin Runyam
Seiring terbitnya Peraturan Menteri Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 83 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Mediator Hubungan Industrial penanganan kasus perselisihan hubungan industrial di tingkat mediasi (Disnaker) akan semakin runyam.
Hal itu terjadi karena, pertama, PermenPAN-RB itu tidak lagi membolehkan pejabat struktural seperti Kadisnaker dan Kepala Bidang pada Disnaker bertindak sebagai pejabat fungsional mediator. Karenanya dari 800-an mediator di seluruh Indonesia hanya akan tersisa 400-an orang. Padahal sampai saat ini (Juni 2022) Disnaker berjumlah 548 (34 Prov, 416 Kab, 98 Kota). Kalau saja setiap Disnaker diisi 1 orang mediator maka masih ada 148 Disnaker yang mengalami kekosongan mediator.
Kedua, Permen PAN-RB itu membuat batasan kewenangan mediator sesuai dengan tingkat jabatan/golongannya. Permen itu membuat 4 jenjang jabatan fungsional mediator, yaitu:
- Mediator Ahli Pertama: Gol. IIIa & b;
- Mediator Ahli Muda: Gol. IIIc & d;
- Mediator Ahli Madya: Gol. IVa - c;
- Mediator Ahli Utama: Gol. IVd & e.
Mediator Ahli Pertama hanya diberi kewenangan untuk memediasi perselisihan hubungan industrial tingkat ringan. Lalu Mediator Ahli Muda hanya diberi kewenangan untuk memediasi perselisihan tingkat sedang. Mediator Ahli Madya hanya diberi kewenangan untuk memediasi perselisihan tingkat berat. Sedangkan Mediator Ahli Utama tidak diberi kewenangan untuk melakukan mediasi perselisihan tingkat apapun.
Anehnya PermenPAN-RB itu tidak mengatur perselisihan seperti apa yang dimaksud ringan, sedang dan berat. Padahal selama ini, hukum ketenagakerjaan dan hukum acara peradilan hubungan industrial tidak mengenal istilah perselisihan tingkat ringan, sedang dan berat.
Dengan konsep PermenPAN-RB seperti itu berarti untuk setiap Disnaker wajib ada 3 mediator: 1 ahli pertama untuk tingkat ringan, 1 ahli muda untuk tingkat sedang, dan 1 ahli madya untuk memediasi perselisihan tingkat berat.
Mungkinkah regulasi yang dibuat KemenPAN-RB itu tercapai? Hemat saya tidak. PermenPAN-RB itu terlalu ideal bahkan lebih tepat utopis. Karena dengan peraturan lama saja persoalan kekurangan mediator tidak dapat dipenuhi pemerintah karena tidak mendapat perhatian dari Pemda (Gubernur, Bupati dan Walikota). Ditambah lagi kebijakan Pemda yang banyak memindahkan mediator menjadi pegawai pada dinas lain seperti menjadi Satpol PP, petugas pemakaman, dll.
Selain itu, belum adanya aturan yang jelas dan tegas tentang batasan kewenangan mediator dan pengawas berakibat antara mediator dan pengawas sering tarik-menarik kasus yang berakibat kasus yang dialami pekerja/buruh menjadi tidak jelas penyelesaiannya, baik dari segi siapa yang menangani dan kapan selesai. (HM)